Pages

Subscribe:

My Clock :)

Welcome

Followers

Minggu, 25 Desember 2011

Menjadi Seorang Dokter Yang Baik dan Benar

Menjadi dokter yang baik dan benar itu lebih sulit lagi; anda harus peduli pada pasien.
Banyak sekali lulusan sekolah menengah atas yang akhirnya memilih Fakultas Kedokteran tanpa memiliki niat murni untuk menjadi seorang dokter. Hal ini disebabkan karena dokter masih dianggap sebagai jabatan dewa, banyak uangnya, banyak kuasanya. Namun kenyataannya, menjadi seorang dokter tidak lagi memiliki status seperti itu. Bahkan, untuk menjadi seorang dokter yang baik, lulus sebuah FK tidaklah menjadi jaminan.
Menjadi seorang dokter berarti menjadi seorang yang berusaha, semaksimal mungkin, untuk menjamin kesehatan seseorang, bahkan masyarakat. Kesehatan tidak ditunjang dari sekedar bebas penyakit, namun juga harus memenuhi kesehatan menurut WHO. Detilnya dapat dibaca di Website WHO, namun seorang dokter harus mampu menjaga kualitas hidup seorang pasien agar mampu menghadapi lengkungan sekitar semaksimal dan seoptimal mungkin, Tidak hanya sekedar kesehatan biologi saja, namun juga dalam hal psikis dan sosial. Semua hal tersebut tidak dapat dicapai dengan hanya berbekal sebuah ijasah dokter saja. Hal yang paling penitng lainnya, adalah sebuah soft skill, sebuah kemampuan untuk mendalami seorang pasien. Sebuah ilmu komunikasi. Sebuah ilmu yang tidak dapat diperoleh dari sekedar mengikuti kuliah saja. Oleh karena itu, banyak fakultas kedokteran yang menganjurkan, bahkan memaksa mahasiswanya untuk terlibat dalam kegiatan sosial, termasuk di dalamnya kegiatan kemahasiswaan. Mereka-mereka yang menolak berpartisipasi dalam hal tersebut akan tenggelam mati menjadi seorang dokter yang mati hatinya.
Setelah kelulusan 5 tahun tersebut, gelar dokter tidak berarti sudah mampu mengubrek-ubrek pasien selamanya. Sebuah profesi kedokteran dituntut untuk belajar seumur hidup, terus-menerus mengembangkan diri sesuai dengan pilihan masing-masing. Hal ini kini menjadi sebuah kewajiban bagi setiap dokter yang masih ingin mempertahankan namanya sebagai seorang dokter yang berhak melaksanakan kemampuannya. Setiap dokter dituntu untuk mengikuti jurnal kedokteran terbaru, seminar terbaru, dan terus-menerus belajar sepanjang hayat.
Profesi kedokteran juga telah menjadi sasaran empuk masalah hukum. Banyak sekali tuntutan yang menghampiri profesi ini, membuat profesi ini tidak dapat lagi bertindak seluwes dulu. Kini segalanya harus mematuhi prosedur. Namun sebenarnya, jika para dokter mengikuti aturan sebenarnya, maka ancaman-ancaman yang ada hanyalah omong kosong belaka. Masalah ini mungkin dapat mengacaukan dunia kedokteran, namun juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan.
Hal yang terpenting, yang tidak dimiliki semua dokter, adalah sifat altruisme, atau hanya sekedar peduli. Banyak sekali para dokter tidak berhati yang berprofesi hanya untuk kepenitngan dirinya sendiri. Kurangnya kualitas soft skill pada para calon dokter inilah yang melahirkan sebuah stereotip dokter yang sombong. Dokter-dokter inilah yang kemudian merusak nama baik dunia kedokteran. Apakah mereka peduli? Tidak.
Semua hal ini, jarang sekali diperhatikan oleh para calon mahasiswa kedokteran. Sistem pendidikan kita yang hanya mewajibkan para calon mahasiswa kedokteran untuk lulus sebuah ujian tertulis saja membuat mereka yang tak lulus psikologi kedokteran dengan luwesnya memasuki dunia ini. Mungkin dunia ini kelihatannya eksklusif dan sombong, namun percayalah, hal ini untuk menjamin pelayanan dan rasa peduli kedokteran Indonesia.
Sudah saatnya sistem penyaringan masuk fakultas kedokteran menerapkan sistem psikotes untuk menilai kualitas EQ dan SQ para calon mahasiswanya. Dan tentu saja, sudah saatnya pembinaan soft skill para mahasiswa, jiwa dokter mereka, dibina dan didukung oleh sistem pendidikan kita, bukannya dihambat dengan tuntutan waktu kuliah yang semakin dipadatkan.

0 komentar:

Posting Komentar